Sebuah Refleksi
Angka pelaporan kasus kekerasan seksual bila dibandingkan tiga tahun terakhir menunjukan peningkatan. Di Nurani Perempuan Women’s Crisis Center, pada tahun 2011 ada 20 kasus kekerasan seksual. Tahun 2012 ada 29 kasus sedangkan hingga pertengahan tahun 2013 (Juni) ada 24 kasus. Berdasarkan pemberitaan beberapa media lokal di Sumatera Barat, beberapa kasus kekerasan seksual bahkan mengakibatkan meninggalnya korban. Salah satu contohnya adalah kasus perkosaan yang disangkakan pelakunya adalah WS (30) di Bukittinggi.
Hingga pertengahan tahun 2013 ini, jenis kasus kekerasan seksual yang dilaporkan ke Nurani Perempuan terdiri dari: perkosaan 11 kasus, nikah paksa 3 kasus, pelecehan seksual 3 kasus, trafficking untuk tujuan seksual 3 kasus, kekerasan (seksual) dalam berpacaran 2 kasus dan kekerasan (seksual) dalam pernikahan 2 kasus
Kekerasan seksual dimaknai sebagai sebuah pelanggaran hak asasi manusia yang berakar pada diskriminasi berbasis gender. Kekerasan seksual merupakan tindakan seksual atau percobaan untuk melakukan tindakan seksual atau ucapan yang menyasar seksual atau tindakan untuk memperdagangkan atau tindakan yang menyasar seksualitas seseorang yang dilakukan dengan paksaan, intimidasi, ancaman, penahaman, tekanan psikologis atau penyalahgunaan kekuasaan atau dengan mengambil kesempatan dari lingkungan yang koersif atau seseorang yang tidak dapat memberikan persetujuan sebenarnya.
Hingga pertengahan tahun ini nurani perempuan menerima laporan tindak kekerasan seksual adalah sebagai berikut: ada 22 pada rentang usia (0 – 20 tahun), 1 (satu) laporan yang diterima untuk korban dalam usia antara (21 – 40 tahun) dan 1 (satu) laporan pula antara usia (41 – 60 tahun).
Data di atas menunjukan bahwa, laporan tindak kekerasan seksual terbanyak adalah di usia 20 tahun ke bawah. Mengapa pada usia di bawah 20 tahun banyak yang melaporkan ke Nurani Perempuan hingga pertengahan tahun ini? Di bawah ini beberapa hal yang melatarbelakanginya:
- Korban masih anak-anak
Dengan kondisi mereka yang masih anak-anak, keluarga berjuang kerasn untuk mencari bantuan, dukungan, perlindungan dan pemulihan kepada anak mereka yang menjadi korban. Melapor ini juga menjadi salah satu cara korban dan keluarganya untuk meluapkan emosi (kesedihan, kegalauan, kepanikan, kemarahan) mereka. Meskipun tak sedikit juga diantara mereka yang tidak melaporkannya langsung setelah kejadian terjadi. Keluarga menjalankan penyelesaian secara kekeluargaan terlebih dahulu. Bila pelakunya adalah ayah kandung atau ayah tiri maka ibu mengalami kebingungan karena di satu sisi memiliki ketergantungan pada si pelaku baik secara ekonomi ataupun psikologi. Untuk kasus ini si ibu tidak melaporkan juga dikarenakan mendapatkan ancaman. Jika pelakunya adalah orang terdekat lainnya, maka keluarga membutuhkan waktu berfikir untuk memutuskan yang cukup panjang. Waktu yang cukup panjang berakibat hilangnya barang bukti.
2. Pengalaman sukses sebelumnya.
Beberapa kasus yang korbannya adalah anak ketika dilaporkan mendorong keluarga lain yang mengalami kasus sama untuk melaporkannya. Memang perlu ada contoh sukses yang diketahui oleh korban, keluarga korban atau orang sekitar yang dapat mendukung untuk melaporkan kasus kekerasan seksual yang terjadi pada anak. Ketika mereka mengetahui dan mendapatkan informasi cukup tentang bagaimana tindakan yang harus dilakukan, mereka segera melaporkan kasus kekerasan seksual ini.
3. Keberadaan Undang-undang Perlindungan Anak (UUPA)
Meskipun tidak disadari langsung oleh korban dan keluarga, bagi pihak kepolisian, UUPA sangat memudahkan mereka dalam menetapkan pasal-pasal yang dapat dituntutkan kepada pelaku. Dalam UUPA ditetapkan bahwa anak adalah yang berusia 0 – 18 tahun. Dengan batasan usia seperti ini, setiap ada kasus kekerasan seksual, maka pihak kepolisian akan merujuk pasal-pasal yang terkait kekerasan terhadap anak, termasih di dalamnya seksual, missal pasal 80, pasal 81, pasal 82 dan pasal 83. Dengan UUPA ini lembaga-lembaga pengada layanan akan mudah juga mendorong kepolisian untuk segera bertindak.
Meskipun tiga poin di atas diharapkan dapat membuka ruang yang cukup baik dalam penanganan kasus kekerasan seksual pada anak, namun data lain dari pelaporan kasus yang telah diterima Nurani Perempuan hanya menunjukan bahwa kasus yang sampai ke kepolisian sekitar 31,8%. Sedangkan 68,2% nya belum dilaporkan, karena beberapa hambatan yang ada pada poin satu di atas.
Dan mengapa pada usia (21 – 60) tahun hanya ada 2 (dua) laporan tindak kekerasan seksual? apakah pada usia tersebut perempuan terhindar dari sasaran kekerasan seksual? Yang pasti siapa saja, dalam usia berapa saja perempuan menjadi target tindakan kekerasan seksual. Tidak adanya laporan, bukan berarti tidak ada kasus. Mengapa banyak korban enggan melaporkan berbagai kasus kekerasan seksual pada usia tersebut?
- Usia tersebut dianggap usia yang telah dewasa.
Ketika seseorang dianggap telah dewasa, keluarga dan masyarakat menuntut yang bersangkutan untuk bertanggungjawab pada dirinya. Termasuk bertanggungjawab terhadap tindakan yang tidak diinginkannya. Jika dia menjadi korban kekerasan seksual, maka mereka akan lebih sulit untuk mendapatkan dukungan dan disalahkan, misalnya dengan menanyakan secara langsung ataupun tidak “Mengapa mau, mengapa tidak menolak, mengapa tidak melakukan perlawanan?”, dan seterusnya. Kondisi ini, berakibat banyak perempuan korban kekerasan seksual pada usia ini, berusaha untuk menutup berbagai bentuk kekerasan seksual yang terjadi pada dirinya.
2. Takut masyarakat memberi label negative.
Label negative bagi perempuan korban kekerasan seksual merupakan hal yang sangat ditakuti. Karena itu juga lah mereka banyak diantara mereka yang menjadi korban memilih untuk tidak melaporkan.
3. Tidak menyadari bahwa kekerasan seksual juga terjadi dalam relasi perkawinan.
Lemahnya kesadaran bahwa kekerasan seksual juga dapat terjadi dalam hubungan pernikahan, mengakibatkan perempuan korban kekerasan seksual dalam relasi perkawinan ini tidak melaporkan. Dalam konsep berumah tangga selama ini diajarkan bahwa tanggungjawab perempuan adalah melayani, termasuk melayani hasrat seksual pasanganannya. Padahal melakukan hubungan seksual dengan pemaksaan atau bahkan ancaman (meskipun dalam relasi perkawina) merupakan tindakan perkosaan. Sayangnya belum ada peraturan hukum yang secara tegas memberikan perlindungan bagi istri bila dia menjadi korban kekerasan seksual.
Dari data yang ada, dilaporkan dua orang perempuan korban kekerasan seksual dalam relasi perkawinan. Namun pengungkapan kasus kekerasan seksual ini baru terjadi setelah beberapa kali menjalani proses konseling. Kedua korban ini pada awalnya datang untuk melaporkan kasus KDRT pada dirinya.
4. Aparat penegakan hukum mengalami kesulitan untuk menunjukan kepedulian.
Kesulitan menunjukan kepedulian ini dilatarbelakangi oleh berbagai hal. Salah satunya adalah kurangnya kepekaan aparat penegak hukum dalam melihat pola relasi antara laki-laki dan perempuan baik dalam hubungan perkawinan ataupun relasi personil lainnya di dalam masyarakat yang menjunjung nilai patriarkhi,. Akibatnya beberapa jenis kasus-kasus kekerasan seksual ditolak laparannya oleh kepolisian. Misal saja laporan kekerasan seksual (missal: perkosaan) dalam berpacaran, kasus pemaksaan perkawinan, kasus sterilisasi paksa pada perempuan dan beberapa kasus lainnya.
5. Terbatasnya perangkat hukum yang dapat menjamin keadilan dan memberikan perlindungan bagi perempuan korban kekerasan seksual pada rentang usia ini. Sebetulnya ada KUHP dan UU-PKDRT yang dapat digunakan untuk menjamin hak-hak perempuan korban. Sayangnya, karena jenis kekerasan seksual yang dimaksudkan dalam kedua produk hukum ini masih sangat terbatas.
Keengganan untuk melaporkan kepada aparat penegak hukum menjadi hambatan bagi korban untuk mendapatkan pemenuhan hak-hak konstitusionalnya sebagai korban kekerasan seksual. Keengganan ini telah menjauhkan korban dari keadilan, pemulihan dan perlindungan yang seharusnya mereka dapatkan.
Menyikapi berbagai keterbatasan yang dimiliki, baik di tingkat individu, keluarga, masyarakat, pemerintah dan negara dalam merespon berbagai jenis kasus tindak kekerasan seksual, maka perlu upaya keras dalam: (1) membangun pengetahuan dan kesadaran setiap tingkatan tersebut untuk memahami berbagai isu kekerasan seksual. Hal ini penting, karena kekerasan seksual bukan lagi sebagai wacana tapi fakta yang selalu ditemukan di sekitar kita. (2) Meningkatkan keterampilan dalam menangani kasus-kasus kekerasan seksual, baik dari sisi psikologis, medis maupun hukum. (3) mendorong negara untuk menghasilkan produk hukum khusus untuk penanganan berbagai kasus kekerasan seksual, semisal Undang-undang Perlindungan terhadap tindak kekerasan seksual. Karena hal ini juga dilakukan oleh berbagai negara dalam menjamin hak-hak warga negara yang menjadi korban tindak kekerasan seksual.
Yefri Heriani
Aktif di Nurani Perempuan Women’s Crisis Center