Dilema Penanganan Kekerasan Seksual Terhadap Perempuan

Image

Sebuah Refleksi

Angka pelaporan kasus kekerasan seksual bila dibandingkan tiga tahun terakhir menunjukan peningkatan. Di Nurani Perempuan Women’s Crisis Center, pada tahun 2011 ada 20 kasus kekerasan seksual. Tahun 2012 ada 29 kasus sedangkan hingga pertengahan tahun 2013 (Juni) ada 24 kasus. Berdasarkan pemberitaan beberapa media lokal di Sumatera Barat, beberapa kasus kekerasan seksual bahkan mengakibatkan meninggalnya korban. Salah satu contohnya adalah kasus perkosaan yang disangkakan pelakunya adalah WS (30) di Bukittinggi.

Hingga pertengahan tahun 2013 ini, jenis kasus kekerasan seksual yang dilaporkan ke Nurani Perempuan terdiri dari:  perkosaan 11 kasus, nikah paksa 3 kasus, pelecehan seksual 3 kasus,  trafficking untuk tujuan seksual 3 kasus, kekerasan (seksual) dalam berpacaran 2 kasus dan kekerasan (seksual) dalam pernikahan 2 kasus

Kekerasan seksual dimaknai sebagai sebuah pelanggaran hak asasi manusia yang berakar pada diskriminasi berbasis gender. Kekerasan seksual merupakan tindakan seksual atau percobaan untuk melakukan tindakan seksual atau ucapan yang menyasar seksual atau tindakan untuk memperdagangkan atau tindakan yang menyasar seksualitas seseorang yang dilakukan dengan paksaan, intimidasi, ancaman, penahaman, tekanan psikologis atau penyalahgunaan kekuasaan atau dengan mengambil kesempatan dari lingkungan yang koersif atau seseorang yang tidak dapat memberikan persetujuan sebenarnya.

Hingga pertengahan tahun ini nurani perempuan menerima laporan tindak kekerasan seksual  adalah sebagai berikut: ada 22 pada rentang usia (0 – 20 tahun),  1 (satu) laporan yang diterima untuk korban dalam usia antara (21 – 40 tahun) dan 1 (satu) laporan pula antara  usia (41 – 60 tahun).

Data di atas menunjukan bahwa, laporan tindak kekerasan seksual terbanyak adalah di usia 20 tahun ke bawah. Mengapa pada usia di bawah 20 tahun banyak yang melaporkan ke Nurani Perempuan hingga pertengahan tahun ini?  Di bawah ini beberapa hal yang melatarbelakanginya:

  1. Korban masih anak-anak

Dengan kondisi mereka yang masih anak-anak, keluarga berjuang kerasn untuk mencari bantuan, dukungan, perlindungan dan pemulihan kepada anak mereka yang menjadi korban. Melapor ini juga menjadi salah satu cara korban dan keluarganya untuk meluapkan emosi (kesedihan, kegalauan, kepanikan, kemarahan) mereka. Meskipun tak sedikit juga diantara mereka yang tidak melaporkannya langsung setelah kejadian terjadi. Keluarga menjalankan penyelesaian secara kekeluargaan terlebih dahulu. Bila pelakunya adalah ayah kandung atau ayah tiri maka ibu mengalami kebingungan karena di satu sisi memiliki ketergantungan pada si pelaku baik secara ekonomi ataupun psikologi. Untuk kasus ini si ibu tidak melaporkan juga dikarenakan mendapatkan ancaman. Jika pelakunya adalah orang terdekat lainnya, maka keluarga membutuhkan waktu berfikir untuk memutuskan yang cukup panjang. Waktu yang cukup panjang berakibat hilangnya barang bukti.

2.   Pengalaman sukses sebelumnya.

Beberapa kasus yang korbannya adalah anak ketika dilaporkan mendorong keluarga lain yang mengalami kasus sama untuk melaporkannya. Memang perlu ada contoh sukses yang diketahui oleh korban, keluarga korban atau orang sekitar yang dapat mendukung untuk melaporkan kasus kekerasan seksual yang terjadi pada anak. Ketika mereka mengetahui dan mendapatkan informasi cukup tentang bagaimana tindakan yang harus dilakukan, mereka segera melaporkan kasus kekerasan seksual ini.

3.   Keberadaan Undang-undang Perlindungan Anak (UUPA)

Meskipun tidak disadari langsung oleh korban dan keluarga, bagi pihak kepolisian, UUPA sangat memudahkan mereka dalam menetapkan pasal-pasal yang dapat dituntutkan kepada pelaku. Dalam UUPA ditetapkan bahwa anak adalah yang berusia 0 – 18 tahun. Dengan batasan usia seperti ini, setiap ada kasus kekerasan seksual, maka pihak kepolisian akan merujuk pasal-pasal yang terkait kekerasan terhadap anak, termasih di dalamnya seksual, missal pasal 80, pasal 81, pasal 82 dan pasal 83. Dengan UUPA ini lembaga-lembaga pengada layanan akan mudah juga mendorong kepolisian untuk segera bertindak.

Meskipun tiga poin di atas diharapkan dapat membuka ruang yang cukup baik dalam penanganan kasus kekerasan seksual pada anak, namun data lain dari pelaporan kasus yang telah diterima Nurani Perempuan hanya menunjukan bahwa kasus yang sampai ke kepolisian sekitar 31,8%. Sedangkan 68,2% nya belum dilaporkan, karena beberapa hambatan yang ada pada poin satu di atas.

Dan mengapa pada usia (21 – 60) tahun hanya ada 2 (dua) laporan tindak kekerasan seksual? apakah pada usia tersebut perempuan terhindar dari sasaran kekerasan seksual? Yang pasti siapa saja, dalam usia berapa saja perempuan menjadi target tindakan kekerasan seksual. Tidak adanya laporan, bukan berarti tidak ada kasus. Mengapa banyak korban enggan melaporkan berbagai kasus kekerasan seksual pada usia tersebut?

  1. Usia tersebut dianggap usia yang telah dewasa.

Ketika seseorang dianggap telah dewasa, keluarga dan masyarakat menuntut yang bersangkutan untuk bertanggungjawab pada dirinya. Termasuk bertanggungjawab terhadap tindakan yang tidak diinginkannya. Jika dia menjadi korban kekerasan seksual, maka mereka akan lebih sulit untuk mendapatkan dukungan dan disalahkan, misalnya dengan menanyakan secara langsung ataupun tidak “Mengapa mau, mengapa tidak menolak, mengapa tidak melakukan perlawanan?”, dan seterusnya.  Kondisi ini, berakibat banyak perempuan korban kekerasan seksual pada usia ini,  berusaha untuk menutup berbagai bentuk kekerasan seksual yang terjadi pada dirinya.

2.   Takut masyarakat memberi label negative.

Label negative bagi perempuan korban kekerasan seksual merupakan hal yang sangat ditakuti. Karena itu juga lah mereka banyak diantara mereka yang menjadi korban memilih untuk tidak melaporkan.

3.   Tidak menyadari bahwa kekerasan seksual juga terjadi dalam relasi perkawinan.

Lemahnya kesadaran bahwa kekerasan seksual juga dapat terjadi dalam hubungan pernikahan, mengakibatkan perempuan korban kekerasan seksual dalam relasi perkawinan ini tidak melaporkan. Dalam konsep berumah tangga selama ini diajarkan bahwa tanggungjawab perempuan adalah melayani, termasuk melayani hasrat seksual pasanganannya. Padahal melakukan hubungan seksual dengan pemaksaan atau bahkan ancaman (meskipun dalam relasi perkawina) merupakan tindakan perkosaan. Sayangnya belum ada peraturan hukum yang secara tegas memberikan perlindungan bagi istri bila dia menjadi korban kekerasan seksual.

Dari data yang ada, dilaporkan dua orang perempuan korban kekerasan seksual dalam relasi perkawinan. Namun pengungkapan kasus kekerasan seksual ini baru terjadi setelah beberapa kali menjalani proses konseling. Kedua korban ini pada awalnya datang  untuk melaporkan kasus KDRT pada dirinya.

4.   Aparat penegakan hukum mengalami kesulitan untuk menunjukan kepedulian.

Kesulitan menunjukan kepedulian ini dilatarbelakangi oleh berbagai hal. Salah satunya adalah kurangnya kepekaan aparat penegak hukum dalam melihat pola relasi antara laki-laki dan perempuan baik dalam hubungan perkawinan ataupun relasi personil lainnya di dalam masyarakat yang menjunjung nilai patriarkhi,. Akibatnya beberapa jenis kasus-kasus kekerasan seksual ditolak laparannya oleh kepolisian. Misal saja laporan kekerasan seksual (missal: perkosaan) dalam berpacaran, kasus pemaksaan perkawinan, kasus sterilisasi paksa pada perempuan dan beberapa kasus lainnya.

5.  Terbatasnya perangkat hukum yang dapat menjamin keadilan dan memberikan perlindungan bagi perempuan korban kekerasan seksual pada rentang usia ini. Sebetulnya ada KUHP dan UU-PKDRT yang dapat digunakan untuk menjamin hak-hak perempuan korban. Sayangnya, karena jenis kekerasan seksual yang dimaksudkan dalam kedua produk hukum ini masih sangat terbatas.

Keengganan untuk melaporkan kepada aparat penegak hukum menjadi hambatan bagi korban untuk mendapatkan pemenuhan hak-hak konstitusionalnya sebagai korban kekerasan seksual. Keengganan ini telah menjauhkan korban dari keadilan, pemulihan dan perlindungan yang seharusnya mereka dapatkan.

Menyikapi berbagai keterbatasan yang dimiliki, baik di tingkat individu, keluarga, masyarakat, pemerintah dan negara dalam merespon berbagai jenis kasus tindak kekerasan seksual, maka perlu upaya keras dalam: (1) membangun pengetahuan dan kesadaran setiap tingkatan tersebut untuk memahami berbagai isu kekerasan seksual. Hal ini penting, karena kekerasan seksual bukan lagi sebagai wacana tapi fakta yang selalu ditemukan di sekitar kita. (2) Meningkatkan keterampilan dalam menangani kasus-kasus kekerasan seksual, baik dari sisi psikologis, medis maupun hukum. (3) mendorong negara untuk menghasilkan produk hukum khusus untuk penanganan berbagai kasus kekerasan seksual, semisal Undang-undang Perlindungan terhadap tindak kekerasan seksual. Karena hal ini juga dilakukan oleh berbagai negara dalam menjamin hak-hak warga negara yang menjadi korban tindak kekerasan seksual.

Yefri Heriani

Aktif di Nurani Perempuan Women’s Crisis Center

Posted in Kekerasan Seksual | Leave a comment

Pemenuhan Hak Korban Kekerasan Seksual

6kekerasan seksual illustrais edittt

Kekerasan terhadap anak terjadi diberbagai tempat, baik itu di ranah domestik (rumah) maupun  di ranah publik (tempat/fasilitas umum seperti pasar, ruang bermain termasuk sekolah). Berbagai jenis dan bentuk kekerasan ditemukan. Pertama, kekerasan fisik ditemukan dalam bentuk pemukulan anak, menempeleng, melempar dengan benda keras, menendang, menjambak dan lainnya. Kedua, kekerasan psikologis/mental/psikis dalam bentuk mengata-ngatai anak dengan perkataan kasar, hinaan, makian, umpatan, hujatan, menghakimi, perlakuan diskriminatif,  dan lainnya. Ketiga, penelantaran anak secara ekonomi dengan mengeksploitasi mereka untuk mendapatkan penghasilan untuk memenuhi kebutuhan orang dewasa, tidak memberikan biaya dengan berbagai alasan. Keempat, kekerasan seksual yang terjadi dalam bentuk perkosaan/pencabulan, pelecehan seksual, perdagangan anak dengan tujuan seksual, dan lainnya.

Berbagai bentuk kekerasan ini telah berdampak pada anak. Beberapa dampak yang sering kerusakan secara fisik baik dalam bentuk luka dan kecacatan seumur hidup bahkan kematian, hilangnya rasa harga diri anak, trauma, kehamilan yang tak diinginkan, aborsi, penyakit menular seksual serta penolakan untuk mendapatkan pendidikan dibangku sekolah. Beberapa waktu terakhir ini kasus kekerasan/kejahatan seksual banyak dilaporkan dan terjadi pada anak yang hampir 93% diantaranya adalah pelajar.

Kekerasan Seksual Pada Anak (Pelajar) Perempuan

Laporan kasus kekerasan terhadap anak dari waktu ke waktu mengalami peningkatan. Berbagai pemberitaan media lokal maupun data yang ditunjukan oleh beberapa lembaga pemerintahan dan lembaga swadaya masyarakat memastikan bahwa berbagai bentuk kekerasan terhadap anak terjadi dan perlu mendapatkan perhatian serius dari berbagai pihak. Anak mendapatkan berbagai jenis kekerasan, baik fisik, psikologis, ekonomi dan seksual. Kasus kekerasan yang saat ini menjadi perhatian dan sorotan banyak pihak adalah kekerasan seksual yang terjadi pada anak. Untuk data kekerasan seksual Unit Pelayanan Perempuan dan Anak (UPPA) Polres Padang mencatat pada tahun 2011 ada 18 kasus kekerasan seksual yang terjadi pada anak. Sementara hingga November 2012 data yang tercata di lembaga ini sebanyak 26 kasus. Sementara Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten 50 Kota mengungkapkan ada 117 kasus kehamilan di luar nikah sepanjang tahun 2012. Dua diantaranya janda, yang lainnya terdiri dari mahasiswa, pelajar SMP dan SMA (Padang Ekspres, 27 Maret 2013). Data dan kasus yang terungkap ini ibarat fenomena gunung es, terungkap di satu kabupaten dalam jumlah tertentu, namun besar kemungkinan kita terdapat kasus lain yang belum dilaporkan di kabupaten tersebut. Tentunya data dan kasus dapat juga ditemukan di kabupaten-kabupaten lain.

Dalam berbagai kasus kekerasan seksual pada anak, anak yang menjadi korban sering disalahkan, dilekatkan berbagai label negative oleh orang di sekitar mereka. Kondisi ini disebabkan karena masyarakat cendrung melihat bahwa kasus ini terjadi karena korban sebagai pemicu atau pemancingnya. Akibatnya, tidak sedikit anak perempuan korban kekerasan seksual yang harus kehilangan hak untuk mendapatkan pendidikan karena hak tersebut direnggut dan dihilangkan oleh kekuasaan yang tentunya tak dimiliki oleh anak. Kasus kota Padang dua siswi SMP terjaring oleh Pol PP Padang yang disinyalir sebagai wanita panggilan, membuat Wali Kota Padang Fauzi Bahar menegaskan Dinas Pendidikan Padang memberhentikan dan tidak mengizinkan lagi siswi SMP tersebut bersekolah di Padang. (Padek, 23 Maret 2013). Sementara di kota Payakumbuh seorang kepala sekolah SMP tidak menerima siswi yang menjadi korban pencabulan laki-laki dewasa (kasus dilaporkan oleh Nurani Perempuan WCC), di Pariaman siswi korban pelecehan seksual juga dikeluarkan dari sekolah (kasus dilaporkan LBH Padang), di Padang Panjang siswi korban kejahatan seksual diberhentikan dan tidak diberi kesempatan untuk bersekolah di Padang Panjang. Sekali lagi, tentunya masih ada kasus-kasus yang mirip terjadi di tempat lainnya, yang belum atau tidak terlaporkan. Untuk kasus di Payakumbuh dan Pariaman, pelajar tidak dapat mengikuti ujian akhir pada tahun ini.

Masyarakat luas, terutama orang dewasa banyak yang lupa dan tidak melihat  bagaimana struktur sosial memposisikan anak, terutama anak perempuan dalam keluarga, masyarakat juga negara. Anak perempuan dalam struktur sosial posisinya bukanlah sebagai penentu. Dalam pola relasi di tengah hubungan personal, anak perempuan tidak memiliki relasi kuasa yang setara dengan laki-laki (baik pacar, ayah, saudara laki-laki, kenalan, guru, paman, ustadz, dan seterusnya). Anak perempuan menjadi subordinat, bukan superordinat. Dengan posisi sebagai subordinat anak perempuan disadari atau tidak ditempatkan sebagai objek (korban struktur sosial). Sehingga adalah tindakan yang tidak benar (kejahatan) jika mereka diberikan hukuman yang mengakibatkan tercabutnya hak-hak dasar (hak-hak konstitusional) mereka untuk mendapatkan pendidikan. Tindakan yang berakibat pada viktimisasi pelajar korban kejahatan seksual perlu segera dihentikan.

Pemenuhan Hak-hak Anak (Pelajar) Korban Kekerasan Seksual

Diperlukan satu cara pandang yang dapat melihat lebih dalam dan komprehensif terhadap isu kekerasan seksual yang terjadi pada anak di bangku pendidikan sehingga orang dewasa (orang tua, wali ataupun guru serta pemerintah sebagai pengambil kebijakan) bisa memberikan dukungan dan melindungi mereka. Adalah tanggungjawab orang dewasa untuk menjamin pemenuhan hak-hak anak dalam kondisi apa pun.

Pemenuhan hak-hak konstitusi anak tentu untuk keperntingan terbaik anak sebagai pertimbangan dalam semua tindakan yang menyangkut anak (pasal 3, KHA). Konvensi Hak Anak (KHA) telah diratifikasi melalui Keputusan Presiden nomor 36 tahun 1996. Hak-hak anak menurut KHA dikelompokkan dalam 4 kategori, yaitu : (1). Hak Kelangsungan Hidup, hak untuk melestarikan dan mempertahankan hidup dan hak memperoleh standar kesehatan tertinggi dan perawatan yang sebaik-baiknya. (2). Hak Perlindungan, perlindungan dari diskriminasi, eksploitasi, kekerasan dan keterlantaran. (3). Hak Tumbuh Kembang, hak memperoleh pendidikan dan hak mencapai standar hidup yang layak bagi perkembangan fisik, mental, spiritual, moral dan sosial. (4). Hak Berpartisipasi, hak untuk menyatakan pendapat dalam segala hal yang mempengaruhi anak. KHA lebih dikuatkan dengan adanya UU-Perlindungan Anak nomor 23 tahun 2002.

Dalam Undang-undang ini, anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan. (Pasal 1, ayat 1). Pasal 13 dalam undang-undang ini menegaskan bahwa: (1) Setiap anak selama dalam pengasuhan orang tua, wali, atau pihak lain mana pun yang bertanggung jawab atas pengasuhan, berhak mendapat perlindungan dari perlakuan: a. diskriminasi; b. eksploitasi, baik ekonomi maupun seksual;  c. penelantaran; d. kekejaman, kekerasan, dan  penganiayaan;  e. ketidakadilan;  dan f. perlakuan salah lainnya. (2) Dalam hal orang tua, wali atau pengasuh anak melakukan segala bentuk perlakuan sebagaimana dimaksud dalam ayat  (1), maka pelaku dikenakan pemberatan hukuman.

Tanggungjawab Pemerintah

Diperlukan tindakan segera agar tidak terjadi pembiaran atas viktimisasi pelajar korban kejahatan seksual. Pemerintah harus mengambil tanggungjawab atas berbagai tindakan yang tidak adil, deskriminatif yang dialami oleh anak (pelajar) korban kekerasan (kejahatan) seksual yang dilakukan oleh kepala sekolah atau pejabat negara lainnya. Tindakan mencabut hak anak untuk mendapatkan pendidikan secara sewenang-wenang jelas bertentangan dengan KHA, UU-Perlindungan Anak dan tentunya dengan konstitusi Negara Indonesia – UUD 1945. Karena itu perlu tindakan tegas atas kesewenang-wenangan yang terjadi.

Posted in Uncategorized | Leave a comment

Kekerasan Seksual

Kekerasan Seksual

Bila hari ini Anda membaca, menonton berita tentang mucikari cilik di Surabaya

Barangkali, hal ini juga ada di wilayah lain di nusantara ini.

Ini bukan hanya persoalan mereka.

Tapi persoalan kita bersama.

Posted in Uncategorized | Tagged | Leave a comment

Perkosaan

Perkosaan terjadi

bukan karena tubuh perempuan,
bukan karena pakaian yang dipakai perempuan,
karena LAKI-LAKI ingin menguasai perempuan.

Posted in Uncategorized | Tagged | Leave a comment

Hak Pendidikan Bagi Semua, Termasuk Anak Korban Kekerasan Seksual

Hak Pendidikan Bagi Semua, Termasuk Anak Korban Kekerasan Seksual

Posted in Uncategorized | Tagged | Leave a comment

Bencana Sosial Itu Bernama: Kekerasan Terhadap Perempuan

kekerasan-dalam-rumah-tangga-kdrt-ilustrasi-_111123192212-948

Kembali berbagai media lokal di Sumatera Barat memberitakan kasus pembunuhan yang korbannya adalah seorang istri. Pembuhan ini terjadi di Pasar Laban, Kelurahan Bungus Selatan, Kota Padang. Hingga saat ini belum ada pemberitaan tentang siapa pelaku sebenarnya. Namun berbagai sumber menyatakan bahwa sebelum jasat ditemukan di rumahnya, beberapa orang tetangga mendengar adanya pertengkaran antara korban dan suaminya tersebut. Pada akhir Januari 2013, pemberitaan tentang pembunuhan istri juga mengisi halaman beberapa media. Pelaku untuk kasus pembunuhan ini adalah suami korban. Beberapa kali pertengkaran telah terjadi antara pasangan suami istri ini, sebelum pembunuhan terjadi. Korban di bunuh ketika dia sedang berada di tempat kerja.

Tentunya dua kasus pembunuhan istri yang terjadi di Sumatera Barat di awal tahun 2013 ini sangat memprihatinkan kita. Semestinya, takkan pernah terjadi pembunuhan istri (perempuan) di ranah yang menempatkan perempuan di posisi terbaik, baik di tengah keluarga maupun di tengah kaumnya. Namun ternyata, tidak sedikit kasus yang dilaporkan ataupun tidak menunjukan fakta bahwa perempuan rentan terhadap berbagai tindak kekerasan yang dapat mengakibatkan perempuan kehilangan nyawanya. Pelakunya, adalah orang-orang yang mereka kenal dekat karena adanya relasi perkawinan atau relasi personal lainnya.

Hendaknya kita melihat kasus ini tidak hanya sebagai musibah yang terjadi pada seorang perempuan dalam dalam sebuah keluarga. Kita datang berbondong-bondong menunjukan rasa berlangsungkawa dan mengungkapkan itu lah nasibnya. Kasus ini dan berbagai kasus kekeresan lain yang terjadi pada perempuan seharusnya kita lihat sebagai bencana sosial yang membutuhkan respon cepat dari berbagai pihak. Bencana sosial yang namanya tindak kekerasan terhadap perempuan ini pun tidak hanya terjadi pada satu ketika tertentu saja, namun sepanjang waktu (tidak hanya bulan, tapi hari bahkan jam) terhadap perempuan dan anak serta kelompok rentan lainnya.

Untuk merespon bencana sosial ini, aparat penegak hukum seperti polisi harus cepat melakukan proses penyelidikan dan penyidikan terhadap pelaku, kemudian pengadilan memberikan ganjaran maksimal terhadap pelakunya. Pemerintah membuat regulasi yang memastikan bahwa Negara tidak mentolerir berbagai bentuk kejahatan kemanusian terhadap perempuan dan anak. Jaminan untuk mendapatkan perlindungan dan keadilan bagi korban harus dipastikan oleh pemerintah dengan menyediakan fasilitas layanan untuk tindakan kuratif yang baik bagi korban serta berbagai upaya preventif yang terencana. Tokoh masyarakat bersama warga membangun mekanisme yang berbasis masyarakat untuk dapat melindungi perempuan dan anak dari berbagai tindak kekerasan.

Harus dibangun kesadaran berbagai pihak bahwa dimanapun perempuan dapat menjadi korban kekerasan. Kasus ini harusnya dapat mendorong berbagai pihak untuk segera bersikap dan bertindakan nyata serta menunjukan keberpihakan pada perempuan (korban) sehingga mereka segera mendapatkan perlindungan dan pemulihan (termasuk anak-anak yang juga menjadi kelompok rentang dalam kasus tindak kekerasan ini) sebelum mereka mengalami tindak kekerasan yang lebih buruk lagi dari pelaku. Jika berbagai pihak masih menyalahkan korban dengan berbagai alasan yang memojokan dan meletakan label negative pada mereka, sikap dan tindakan seperti itu tentulah tidak tepat.

Kekerasan terhadap Perempuan merupakan perbuatan berdasarkan pembedaan berbasis gender yang berakibat atau memungkinkan berakibat pada kesengsaraan atau penderitaan perempuan secara fisik, seksual, psikologis atau termasuk ancaman terjadinya perbuatan tersebut, pemaksaan atau perampasan kebebasan secara sewenang-wenang, baik yang terjadi di ruang publik maupun di dalam kehidupan pribadi. (Deklarasi Penghapusan Kekerasan terhadap Perempuan, Ps. 1).

Kasus kekerasan terhadap perempuan terjadi dimana-mana. Catatan tahunan Komnas Perempuan menunjukan bahwa sepanjang tahun 2010 dilaporkan 105.103 tindak kekerasan terhadap perempuan. Pada tahun 2011 komnas perempuan  menerima laporan 119.107 kasus tindak kekerasan terhadap perempuan dari berbagai lembaga pengada layanan dan Pengadilan Agama di seluruh Indonesia. Di Sumatera Barat, laporan tindak kekerasan terhadap perempuan dari tahun ke tahun pun menunjukan meningkat. Kasus yang dilaporkan dan ditangani Nurani Perempuan Women’s Crisis Center pada tahun 2010 sebanyak 39 kasus. Pada tahun 2011 kasus tindak kekerasan terhadap perempuan yang dilaporkan sebanyak 94 kasus.

Jenis kekerasan terhadap perempuan terjadi baik dalam bentuk : 1). Kekerasan psikologis (ancaman, hinaan, dimaki-maki), 2). Kekerasan fisik (penganiayaan, pemukulan, pembunuhan) 3). Kekerasan seksual (perkosaan/pencabulan, pelecehan seksual, pemaksaan kawin) dan 4. Kekerasan ekonomi (mengkomoditikan istri, tidak memberikan biaya hidup, membuat seseorang menjadi ketergantungan secara ekonomi). Kekerasan terhadap perempuan terjadi pada korbannya tidak hanya dalam satu jenis. Kekerasan psikologis sering diikuti oleh kekerasan ekonomi, fisik bahkan kekerasan seksual. Sering korban tidak hanya mengalami satu kali kekerasan sepanjang hubungannya dengan pelaku. Kekerasan terjadi berulang-ulang dalam bentuk yang sama atau berbeda. Bila kekerasan terhadap perempuan dipotret dalam sebuah siklus kekerasan maka setelah kekerasan terjadi, pelaku akan mengungkapkan penyesalannya kepada korban, pelaku meminta untuk dimaafkan, pelaku dan korban kembali memasuki masa-masa berbaikan dan kemudian kekerasan pun terjadi kembali.

Sebuah puisi berjudul “Do Not Send Me Flowers” versi bahasa Indonesia dengan judul Jangan Kirimi Aku Bunga yang pernah hadir dalam kampanye Internasional 16 Hari Anti Kekerasan Terhadap Perempuan tahun 2001 dan juga pernah dimuat dalam harian Kompas pada dua alinea terakhirnya mengungkapkan: “Aku mendapatkan bunga hari ini, padahal hari ini bukanlah hari ibu atau hari istimewa lain. Semalam ia memukul aku lagi, lebih keras dari waktu-waktu yang lalu. Aku takut padanya, tapi aku takut meninggalkannya. Aku tidak punya uang. Lalu bagaimana aku bisa menghidupi anak-anakku?. Namun aku tahu, ia menyesali (perbuatannya) semalam, karena hari ini ia kembali mengirimi aku bunga./// Ada bunga untukku hari ini. Hari ini hari pemakamanku. Ia menganiayaku sampai mati tadi malam. Kalau saja aku memiliki cukup keberanian dan kekuatan untuk meninggalkannya, Aku tidak akan mendapatkan bunga lagi hari ini”.

Kondisi ini membuat korban jarang untuk melaporkan kekerasan yang terjadi pada dirinya pada saat tindakan kekerasan pertama kali terjadi pada dirinya. Data menunjukan bahwa rata-rata perempuan mengalami 35 kali kekerasan oleh pasangannya, setelah itu baru melaporkan. Dan tidak sedikit diantara mereka saat melaporkan dalam kondisi luka fisik dan trauma psikologis yang berat.

Tidak adanya penghargaan terhadap manusia sebagai makhluk ciptaan Allah SWT, relasi kuasa yang timpang antara laki-laki dan perempuan, penyalahgunaan kekuasaan oleh banyak laki-laki yang secara sosial diberikan peran sebagai pemimpin serta ketidakadilan gender menjadi akar penyebab terjadinya berbagai bentuk kekerasan terhadap perempuan. Terjadinya kekerasan terhadap perempuan kemudian dipicu oleh berbagai tantangan sosial lainnya yang dihadapi individu maupun masyarakat, seperti tingkat pendidikan yang rendah, masalah ekonomi dan kemiskinan, budaya konsumtif, teknologi, berbagai konflik sosial yang terjadi, minuman keras serta kurangnya penegakan hukum bagi pelaku tindak kekerasan terhadap perempuan.

Posted in Uncategorized | Tagged | Leave a comment